Jumat, 14 Maret 2014

Taqlid, Kata Yang Ditakuti





Dulu ketika belajar agama, rasanya kata kata taqlid adalah kata yang ingin saya hindari. Taqlid buta, kesannya bodooooh sekali, nggak mikir apa apa tapi langsung ikut langsung taat. Kata ini menimbulkan kesan kalau orang yang melakukannya bodoh sekali, masak ikut ikut aja nggak tau permasalahnnya apa.... yang keren itu adalah kata kata pemikiran, bahkan pemberontakan atau mempertanyakan.....


Tapi ternyata kalau kita belajar tentang taqlid, nampaknya kata kata itu menjadi tidak terlalu menakutkan dan merusak image seseorang. Bahkan dari hal tentang taqlid nampak sekali kalau Islam itu adalah agama rahmat yang dibawa untuk berbagai jenis manusia di muka bumi ini. Taqlid itu diperlukan untuk orang awam, orang yang tidak memiliki ilmu yang ukup tentang agama.

Taqlid dan ittiba itu artinya sama, ikut saja tanpa pusing pusing memperhatikan mana dalil dan huku hukumnya. Secara makna arti ini tidak membawa nilai positif atau negatif.Baru bermakna positif dan negatif kalau ada keterangannya. Taqlid pada setan firaun, jin, dll diharamkan, taqlid pada mujtahid dibolehkan bahkan dianjurkan. Seperti pada (QS. Al‐Anbiya’ 7), ”Bertanyalah kamu pada orang yang alim (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu.” (Al‐Kawkab al‐Sathi’ fi Nazhmi al‐Jawami 492) https://www.facebook.com/KumpulanHujjahAhlussunnahhalaman/posts/438834072834349.

Taqlid ini hukumnya haram jika yang bertaqlid adalah Imam Mujtahid karena Imam Mujtahid sudah memiliki ilmu lahir dan batin yang luas seperti pada cerita:  https://www.facebook.com/KumpulanHujjahAhlussunnahhalaman/posts/438834072834349. Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal “Imam Ahmad berkata kepadaku, ”Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam Syafi’I, al‐Awza’i, dan al‐Tsauri. Tapi galilah dalil‐dalil hukum itu sebagaimana yang mereka lakukan.” (Al‐Qawl al‐Mufid li al‐Imam Muhammad bin Ali al‐ Syaukani 61).
Coba perhatikan dengan seksama, kepada siapa Imam Ahmad berbicara? Beliau menyampaikan ucapan itu kepada Abu Dawud pengarang kitab Sunan Abi Dawud yang memuat lima ribu dua ratus delapan puluh empat hadits lengkap dengan sanadnya. Tidak kepada masyarakat kebanyakan. Sehingga wajar, kalau imam mengatakan hal itu kepada Imam Abu Dawud, sebab ia telah memiliki kemampuan untuk berijtihad. Sementara syarat menjadi Imam Mujtahid sangat berat yaitu:
  • Syarat Pertama, mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya
  • Syarat yang kedua bagi Imam Mujtahid ialah mahir dalam hukum-hukum Al-Qur’an
  • Syarat yang ketiga bagi Imam Mujtahid ialah mengerti akan isi dan maksud Al-Qur’an keseluruhannya,  
  • Syarat yang ke-empat bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui “Asbabun-nuzul” bagi setiap ayat itu
  • Syarat yang kelima bagi seseorang Imam Mujtahid ialah mengetahui hadits-hadits Nabi,
  • Syarat yang ke-enam bagi setiap Imam Mujtahid ialah berkesanggupan menyisihkan mana hadits-hadits yang sahih, mana yang maudhu’ (yang dibuat-buat oleh musuh-musuh Islam), mana hadits yang kuat, mana hadits yang lemah.
  • Syarat ketujuh, mengerti dan tahu pula fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang terdahulu dalam masalah-masalah yang dihadapi.
(Sumber: Sejarah & Keagungan Madzhab Syafi’i, K.H. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah Baru. )
 diambil dari: http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/31/imam-mujtahid/

Jadi bagaimana? berminatkah menjadi ulama mujtahid? waaaah berat sekali rupanya persyaratannya.....
Kalau kita fikir kembali denagn jernih, sebetulnya pada hal hal yang sederhana dalam kehidupan kita pun kita banyak taqlid, kita taqlid pada dokter, gak perlu kuliah di fakultas kedokteran dulu untuk mendapatkan pengobatan, kita taqlid pada tukang servis kendaraan, tidak perlu belajar mekanik dulu, dll. Bayangkan kalau utuk urusan sepele kita tidak boleh taqlid. Seorang anak, pada usia tertentu ( lahir sampai mumayyiz- usia seorang anak mulai dapat berfikir seara konsisten) dia perlu taqlid pada orangtuanya. Coba kita bayangkan lagi kalau setiap saat kita menghindari taqlid kepada segala sesuatu.....

Tapi yang menjadi masalah sekarang, kepada siapa kita akan bertaqlid? tentunya kepada ulama Mujtahid yang kita percaya.